Twitter Updates

    follow me on Twitter

    Rabu, 16 Desember 2009

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan kasihNya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan penyusunan dari makalah ini.
    Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) mengenai masalah Faktor Fisik, Stres dan Kelelahan Kerja.
    Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Harapan Penyusun , makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi bidang ilmu yang berhubungan maupun khayalak umum dan dapat memberikan gambaran mengenai mengenai masalah Faktor Fisik, Stres dan Kelelahan Kerja. Kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.



    Manado, November 2009

    Penyusun













    DAFTAR ISI

    Halaman
    KATA PENGANTAR……………………………………………… i
    DAFTAR ISI…………………………………………………….. ii
    BAB I PENDAHULUAN
    1.1 Latar Belakang ..........………………………………... 1
    1.2 Rumusan ........…………….........…………............… 2
    1.3 Tujuan dan Manfaat...………………………………........ 2
    BAB II TINJAUAN PUSTAKA
    2.1 Faktor Fisik............………………………………........ 3
    2.2 Stres Kerja……………………………………………… 13
    2.3 Kelelahan Kerja.......................................................... 21

    BAB III PENUTUP
    4.1 Kesimpulan………………………………………….. 25
    4.2 Saran………………………………………………… 25

    DAFTAR PUSTAKA................................................................ 26


    BAB I PENDAHULUAN


    1.1 Latar belakang
    Perkembangan teknologi yang semakin meningkat saat ini terasa sangat kompleks dampaknya. Disatu pihak perkembangan itu memberikan manfaat-manfaat dan kemudahan-kemudahan pada tenaga manusia, tetapi dilain pihak menimbulkan masalah-masalah yang membutuhkan perhatian khusus. Hal tersebut mendorong manusia mengerahkan segenap potensi untuk mengembangkan diri dan memanfaatkan fasilitas serta sumber daya yang ada. Dengan demikian manusia bisa mencukupi kebutuhan hidup baik secara fisik maupun secara psikis. Bekerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan sering kali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang ingin dicapai dan orang berharap aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawakan suatu keadaan yang lebih memuaskan dari sebelumnya (Pandji Anoraga, 2001: 11). Perkembangan teknologi yang semakin maju mendorong Indonesia mencapai tahap industrialisasi, yaitu adanya berbagai macam industri yang ditunjang dengan teknologi maju dan modern. Salah satu konsekuensi dari perkembangan industri yang sangat pesat dan persaingan yang ketat antar perusahaan di Indonesia sekarang ini adalah tertantangnya proses produksi kerja dalam perusahaan supaya terus menerus berproduksi selama 24 jam. Dengan demikian diharapkan ada peningkatan kualitas dan kuantitas produksi untuk mencapai keuntungan yang maksimal (Budi Imansyah, 2004: 1). Pada dasarnya tujuan utama dari perindustrian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dengan lebih memperhatikan subyek-subyek yang terlibat didalamnya, terutama dalam hal perlindungan terhadap manusia dan lingkungan kerja. Peranan manusia dalam industri tidak dapat diabaikan karena sampai saat ini dalam proses produksi masih terdapat adanya ketergantungan antara alat-alat kerja atau mesin dengan manusia, atau dengan kata lain adanya interaksi antara manusia, alat dan bahan serta lingkungan kerja (Sutaryono, 2002: 6).
    Interaksi antara manusia, alat dan bahan, serta lingkungan kerja menimbulkan beberapa pengaruh terhadap tenaga kerja. Pengaruh atau dampak negatif sebagai hasil samping proses industri merupakan beban tambahan dari tenaga kerja, yang bisa menimbulkan stress dan kelelahan.
    1.2 Rumusan
    Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Produktifitas Kerja, antara lain Faktor fisik, Stres dan kelelahan

    1.3 Tujuan dan Manfaat
    Tujuan dan agar didapatkan pekerja Indonesia yang sehat, optimal, produktif

    BAB II. ISI


    2.1 Faktor Fisik
    Faktor fisik merupakan komponen yang terdapat dilingkungan kerja seperti kebisingan, penerangan, iklim kerja, getaran dan radiasi, yang biasanya mempengaruhi tenaga kerja (Dep.Naker, 2004: 9). Faktor fisik yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebisingan, penerangan dan iklim kerja.
    2.1.1 Kebisingan
    2.1.1.1 Pengertian Kebisingan
    Bising adalah suara/bunyi yang tidak dikehendaki bagi manusia (Emil Salim, 2002:246). Sedangkan bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis. Terdapat dua hal yang yang menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang-gelombang sederhana dari beraneka frekuensi. Telinga manusia mampu mendengar frekuensi antara 16 – 20.000 Hz (Suma’mur PK, 1996: 58). Sedangkan intensitas kebisingan yang dianjurkan bedasarkan Kep. Men. No. 55 tahun 1999 adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja. Adapun tingkat paparan kebisingan maksimal selama satu hari pada ruang proses produksi yang dapat dilihat pada tabel 1:



    Tabel 1. Tingkat paparan kebisingan
    NO TINGKAT KEBISINGAN (dBA) PEMAPARAN HARIAN
    1. 85 8 JAM
    2. 88 4 JAM
    3. 91 2 JAM
    4. 94 1 JAM
    5. 97 30 MENIT
    6. 100 15 MENIT
    Sumber: KepMenKes RI No 261/MenKes/SK/II/1998

    2.1.1.2 Jenis – jenis kebisingan
    Menurut Suma’mur PK (1996:58) jenis–jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:
    1) Kebisingan yang kontinyu dengan spektrum frekuensi luas, seperti mesin- mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain
    2) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit, misalnya gergaji sirkuler, katup gas dan lain-lain
    3) Kebisingan terputus-putus (intermittent) seperti lalulintas, suara kapal terbang
    dilapangan udara
    4) Kebisingan impulsif, misalnya pukulan tukul, tembakan bedil, ledakan
    5) Kebisingan impulsif berulang seperti mesin tempa di perusahaan
    2.1.1.3 Pengaruh Kebisingan
    Setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres, kelelahan, hilang efisiensi dan ketidaktenangan (Sutaryono, 2002: 17).
    Lebih dari itu Mike Wardhani,dkk (2004: 445), menyatakan pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan (efek fisiologis) adalah kerusakan pada indra pendengar yang menyebabkan ketulian. Disamping itu sumber kebisingan yang tinggi memiliki pengaruh terhadap tenaga kerja, yaitu :
    1) Mengurangi kenyamanan dalam bekerja
    2) Mengganggu komunikasi atau percakapan antar pekerja
    3) Mengurangi konsentrasi
    4) Menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara maupun permanen
    5) Tuli akibat kebisingan (AM Sugeng Budiono, 2003: 33).
    Pernyataan diatas diperkuat dengan penelitian Laird yang dikutip oleh Rizeddin.Rasjid,dkk (1989:17), ditemukan adanya pengaruh kebisingan terhadap penurunan prestasi kerja pada tingkat kebisingan 50 – 60 dB.A. Rizeddin.Rasjid,dkk (1989: 16) juga menyatakan ada berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas seseorang yang bekerja ditempat kerja yang bising, faktor-faktor tersebut adalah:
    1) Frekuensi kebisingan, nada tinggi adalah lebih mengganggu daripada nada rendah.
    2) Jenis kebisingan, kebisingan terputus-putus lebih mengganggu daripada kebisingan kontinyu.
    3) Sifat pekerjaan, pada pekerjaan yang rumit atau kompleks lebih banyak terganggu daripada pekerjaan yang sederhana.
    4) Variasi kebisingan, makin sedikit variasinya maka makin sedikit pula gangguannya.
    5) Sikap individu, karyawan yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), yaitu ear plugh/ear muff akan lebih banyak terganggu daripada yang menggunakan APD.

    2.1.1.4 Pengukuran Kebisingan
    Pengukuran kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan memperoleh data kebisingan di perusahaan atau dimana saja sehingga dapat dianalisis dan dicari pengendaliannya. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah dengan menggunakan sound level meter dengan satuan intensitas kebisingan sebagai hasil pengukuran adalah desibel (dBA). Alat ini mampu mengukur kebisingan diantara 30 -130 dBA dan dari frekuensi 20-20000 Hz. Alat kebisingan yang lain adalah yang dilengkapi dengan octave band analyzer dan noise dose meter (Depnaker, 2004: 112).

    2.1.2 penerangan
    2.1.2.1 Pengertian penerangan
    Menurut peraturan pemerintah (1999), penerangan ditempat kerja adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksakan kegiatan secara efektif. Penerangan dapat berasal dai cahaya alami dan buatan. Penerangan adalah penting sebagai suatu faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa penyelidikaan mengenai hubungan antara produktivitas dengan penerangan telah memperlihatkan, bahwa penerangan yang cukup dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan dapat menghasilkan produksi maksimal dan penekanan biaya (Sutaryono, 2002: 19).
    Berdasarkan peraturan pemerintah (1999) tentang persyarataan kesehatan lingkungan kerja, yang dimaksudkan dengan intensitas penerangan ditempat kerja dapat dilihat pada tabel 2:
    Tabel 2. Intensitas penerangan
    Jenis Kegiatan Intensitas Penerangan (Lux) Keterangan
    Pekerjaan kasar & tidak terus menerus yang kontinyu 100
    Ruang penyimpanan dan ruang peralatan yang memerlukan pekerjaan

    Pekerjaan kasar & terus menerus 200 Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar

    Pekerjaan rutin
    500
    Pekerjaan kantor/administrasi, ruang kontrol, pekerjaan mesin dan perakitan

    Pekerjaan halus
    1000 Pembuatan gambar atau bekerja dengan mesin kantor, pekerja pemeriksan
    Pekerjaan amat halus
    1500 tidak menimbulkan bayangan Mengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang halus

    Pekerjaan detail
    3000 tidak menimbulkan bayangan Pemeriksaan pekerjaan, perakitan yang sangat halus

    Sumber: KepMenKes RI No 261/MenKes/SK/II/1998

    2.1.2.2 Jenis Penerangan
    Penerangan diklasifikasikan berdasarkan cara pendistribusiannya (Rizddin.Rasjid,dkk, 1989: 13) menjadi:
    1) Penerangan langsung (direct lighting), hampir semua cahaya didistribusikan ke bawah (90-100%), paling efisien digunakan karena banyaknya cahaya yang mencapai permukaan kerja adalah maksimum, namun sering menimbulkan bayangan dan kesilauan (bila cahaya terlalu kuat).
    2) Penerangan semi langsung (semi-direct lighting), distribusi cahaya diarahkan kebawah (60-90%)
    3) General difuse, kurang lebih 40-60% cahaya diarahkan kebawah dan 40-60% diarahkan keatas.
    4) Semi-indirect lighting, 60-90% cahaya didistribusikan kearah atas dan 10-40% kearah bawah, untuk itu nilai pantulan dari langit-langit harus tinggi agar cahaya lebih banyak yang dipantulkan kebawah.
    5) Indirect lighting, distribusi cahaya katas 90-100%, tidak menimbulkan bayangan dan kesilauan, tetapi mengurangi efisiensi cahaya. Adapun tipe penerangan yang dapat digunakan di perusahaan adalah:
    1) Penerangan umum (general lighting)
    2) Penerangan lokal (localized general ligting)
    2.1.2.3 Pengaruh Penerangan
    Penerangan yang baik dapat memberikan keuntungan pada tenaga kerja, yaitu peningkatan produksi dan menekan biaya, memperbesar kesempatan dengan hasil kualitas yang meningkat, menurunkan tingkat kecelakaan, memudahkan pengamatan dan pengawasan, mengurangi ketegangan mata, mengurangi terjadinya kerusakan barang-barang yang dikerjakan.
    Penerangan yang buruk dapat berakibat kelelahan mata, memperpanjang waktu kerja, keluhan pegal didaerah mata dan sakit kepala disekitar mata, kerusakan indra mata, kelelahan mental dan menimbulkan terjadinya kecelakaan (Mieke Wardhani. dkk, 2004: 447).
    2.1.2.4 Pengukuran penerangan
    Pengukuran intensitas penerangan dilakukan dengan menggunakan alat Luxmeter atau lighmeter. Alat ini bekerja berdasarkan pengubahan energi cahaya menjadi energi listrik oleh photo electric cell.
    Intensitas penerangan diukur dengan dua cara, yaitu:
    1) Penerangan umum, diukur setiap meter persegi luas lantai, dengan tinggi pengukuran kurang lebih 85 cm dari lantai
    2) penerangan lokal, diukur ditempat atau meja kerja pada obyek yang dilihat oleh tenaga kerja.
    Intensitas penerangan dinyatakan dalam Lux (AM.Sugeng Budiono, 2003: 31).

    2.1.3 Iklim Kerja
    2.1.3.1 Pengertian Iklim kerja
    Menurut Suma’mur PK (1996: 84) iklim kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan dan suhu radiasi. Kombinasi keempat faktor tersebut bila dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh dapat disebut dengan tekanan panas. Indeks tekanan panas disuatu lingkungan kerja adalah perpaduan antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas metabolisme sebagai hasil aktivitas seseorang.
    Suhu tubuh manusia dapat dipertahankan secara menetap oleh suatu sistem pengatur suhu (Thermoregulatory system). Suhu menetap ini adalah akibat keseimbangan diantara panas yang dihasilkan didalam tubuh sebagai akibat metabolisme dan pertukaran panas diantara tubuh dengan lingkungan sekitar.
    Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivias kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24 derajat Celsius sampai 27 derajat Celsius (Sritomo Wigjosoebrata, 2003).

    2.1.3.2 Macam Iklim Kerja
    Kemajuan teknologi dan proses produksi didalam industri telah menimbulkan suatu lingkungan kerja yang mempunyai iklim atau cuaca tertentu, yang dapat berupa iklim keja panas dan iklim kerja dingin.
    1) Iklim Kerja Panas
    Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja yang dapat disebabkan oleh gerakan angin, kelembaban, suhu udara, suhu radiasi dan sinar matahari (AM.Sugeng Budiono, 2003: 37). Panas sebenarnya merupakan energi kinetik gerak molekul yang secara terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil samping metabolisme dan panas tubuh yang dikeluarkan kelingkungan sekitar. Agar tetap seimbang antara pengeluaran dan pembentukan panas maka tubuh mengadakan usaha pertukaran panas dari tubuh kelingkungan sekitar melalui kulit dengan cara konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi (Suma’mur PK, 1996: 82).
    (1) Konduksi, merupakan pertukaran diantara tubuh dan benda-benda sekitar dengan melalui sentuhan atau kontak. Konduksi akan menghilangkan panas dari tubuh apabila benda-benda sekitar lebih dingin suhunya, dan akan menambah panas kepada tubuh apabila benda-benda sekitar lebih panas dari tubuh manusia.
    (2) Konveksi, adalah petukaran panas dari badan dengan lingkungan melalui kontak udara dengan tubuh. Pada proses ini pembuangan panas terbawa oleh udara sekitar tubuh.
    (3) Radiasi, merupakan tenaga dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang lebih panjang dari sinar matahari.
    (4) Evaporasi, adalah keringat yang keluar melalui kulit akan cepat menguap bila udara diluar badan kering dan terdapat aliran angin sehingga terjadi pelepasan panas dipermukan kulit, maka cepat terjadi penguapan yang akhirnya suhu badan bisa menurun.
    Terhadap paparan cuaca kerja panas, secara fisiologis tubuh akan berusaha menghadapinya dengan maksimal, dan bila usaha tersebut tidak berhasil akan timbul efek yang membahayakan. Karena kegagalan tubuh dalam menyesuaikan dengan lingkungan panas maka timbul keluhan-keluhan sepert kelelahan, heat Cramps, Heat exhaustion, dan Heat stroke.
    1. Kelelahan
    Orang bekerja maksimal 40 jam/minggu atau 8 jam sehari. Setelah 4 jam kerja seseorang harus istirahat, karena terjadi penurunan kadar gula dalam darah. Tenaga kerja akan merasa cepat lelah karena pengaruh lingkungan kerja yang tidak nyaman akibat tekanan panas.
    2. Heat cramps, dapat terjadi sebagai akibat bertambahnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari dalam tubuh, sehingga bisa menyebabkan kejang otot, lemah dan pingsan
    3. Heat exhaustion, biasanya terjadi karena cuaca yang sangat panas terutama bagi mereka yang belum beradaptasi tehadap udara panas. Penderita biasanya keluar keringat banyak tetapi suhu badan normal atau subnormal, tekanan darah menurun, denyut nadi lebih cepat.
    4. Heat stroke, terjadi karena pengaruh suhu panas yang sangat hebat, sehingga suhu badan naik, kulit kering dan panas (AM Sugeng Budiono, 2003: 37).

    2) Iklim Kerja Dingin
    Pengaruh suhu dingin dapat mengurangi efisiensi kerja dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Kondisi semacam ini dapat meningkatkan tingkat kelelahan seseorang.

    2.1.3.3 Pengukuran Iklim Kerja
    Untuk mengetahui iklim kerja disuatu tempat kerja dilakukan pengukuran besarnya tekanan panas salah satunya dengan mengukur ISBB atau Indeks Suhu Basah dan Bola (Tim Hiperkes, 2004), macamnya adalah:
    1. Untuk pekerjaan diluar gedung
    ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,2 x suhu radiasi + 0,1 suhu kering
    2. Untuk pekerjaan didalam gedung
    ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,3 x suhu radiasi
    Alat yang dapat digunakan adalah Arsmann psychrometer untuk mengukur suhu basah, temometer kata untuk menguku kecepatan udara dan termometer bola untuk mengukur suhu radiasi. Selain itu pengukuran iklim kerja dapat mengunakan questemt digital. Adapun standar Nilai Ambang Batas (NAB) iklim kerja adalah 280C (Kep.Men no.51/Men/1999).


    2.2 Stres
    2.2.1 Pengertian Stres
    Menurut Morgan dan King, “…as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King, 1986: 321)
    Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994).
    Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
    Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).
    Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
    2.2.2 Jenis-jenis Stres
    Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
    1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
    2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
    2.2.3 Pengertian Stres Kerja
    Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :“Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1992: 623)
    Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
    2.2.4 Sumber-sumber Stres Kerja
    Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
    1. Kondisi dan situasi pekerjaan
    2. Pekerjaannya
    3. Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
    4. Hubungan interpersonal
    Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:
    1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
    2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.
    3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
    4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
    Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:
    1. Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
    2. Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
    Cooper (dalam Rice, 1999) memberikan daftar lengkap stressor dari sumber pekerjaan yang tertera pada tabel berikut:

    Stressor
    Dari
    Stres Kerja Faktor Yang Mempengaruhi
    (Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Di Lapangan) Konsekuensi Kondisi Yang
    Mungkin Muncul
    Kondisi pekerjaan • Beban kerja berlebihan secara kuantitatif
    • Beban kerja berlebihan secara kualitatif
    • Assembly-line hysteria
    • Keputusan yang dibuat oleh seseorang
    • Bahaya fisik
    • Jadwal bekerja
    • Technostress • Kelelahan mental dan/atau fisik
    • Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout)
    • Meningkatnya kesensitivan dan ketegangan

    Stress karena peran • Ketidakjelasan peran
    • Adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender
    • Pelecehan seksual • Meningkatnya kecemasan dan ketegangan
    • Menurunnya prestasi pekerjaan
    Faktor interpersonal
    • Hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk
    • Persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan
    • Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan • Meningkatnya ketegangan
    • Meningkatnya tekanan darah
    • Ketidakpuasan kerja
    Perkembangan karir • Promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya
    • Promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya
    • Keamanan pekerjaannya
    • Ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustrasi • Menurunnya produktivitas
    • Kehilangan rasa percaya diri
    • Meningkatkan kesensitifan dan ketegangan
    • Ketidakpuasan kerja
    Struktur organisasi • Struktur yang kaku dan tidak bersahabat
    • Pertempuran politik
    • Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang
    • Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan • Menurunnya motivasi dan produktivitas
    • Ketidakpuasan kerja
    Tampilan rumah-pekerjaan • Mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi
    • Kurangnya dukungan dari pasangan hidup
    • Konflik pernikahan
    • Stres karena memiliki dua pekerjaan
    • Meningkatnya konflik dan kelelahan mental
    • Menurunnya motivasi dan produktivitas
    • Meningkatnya konflik pernikahan

    2.2.5 Dampak Stres Kerja
    Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
    Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
    1. Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual.
    2. Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres.
    Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993).
    Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
    1) Gejala psikologis
    Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :
    1. Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
    2. Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
    3. Sensitif dan hyperreactivity
    4. Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
    5. Komunikasi yang tidak efektif
    6. Perasaan terkucil dan terasing
    7. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
    8. Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
    9. Kehilangan spontanitas dan kreativitas
    10. Menurunnya rasa percaya diri
    2) Gejala fisiologis
    Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
    1. Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular
    2. Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin)
    3. Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
    4. Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
    5. Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)
    6. Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
    7. Gangguan pada kulit
    8. Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
    9. Gangguan tidur
    10. Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker
    3) Gejala perilaku
    Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
    1. Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
    2. Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
    3. Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
    4. Perilaku sabotase dalam pekerjaan
    5. Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas
    6. Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
    7. Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
    8. Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
    9. Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
    10. Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
    2.3 Kelelahan Kerja
    2.3.1 Pengertian Kelelahan Kerja
    Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.
    2.3.2 Jenis-jenis Kelelahan
    Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot, sedangkan kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni (pekerjaan yang sifatnya monoton), intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, kondisi mental dan psikologis, status kesehatan, dan gizi. Pengaruh-pengaruh tersebut terakumulasi di dalam tubuh manusia dan menimbulkan perasaan lelah yang dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja (beraktivitas).
    Kelelahan dapat diatasi dengan beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Apabila kelelahan tidak segera diatasi dan pekerja dipakasa untuk terus bekerja, maka kelelahan akan semakin parah dan dapat mengurangi produktivitas pekerja. Kelelahan sama halnya dengan keadaan lapar dan haus sebagai suatu mekanisme untuk mendukung kehidupan.
    Di samping kelelahan otot dan kelelahan umum, Grandjean (1988) juga mengklasifikasikan kelelahan ke dalam 7 bagian yaitu:
    1. Kelelahan visual, yaitu meningkatnya kelelahan mata
    2. Kelelahan tubuh secara umum, yaitu kelelahan akibat beban fisik yang berlebihan
    3. Kelelahan mental, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan mental atau intelektual
    4. Kelelahan syaraf, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh tekanan berlebihan pada salah satu bagian sistem psikomotor, seperti pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan
    5. Pekerjaan yang bersifat monoton
    6. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan akibat akumulasi efek jangka panjang
    7. Kelelahan sirkadian, yaitu bagian dari ritme siang-malam, dan memulai periode tidur yang baru.
    2.3.3 Teori Kelelahan
    Sampai saat ini masih berlaku dua teroi tentang kelelahan otot, yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat. Teori kimia menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya cadangan energy dan meningkatnya sisa metabolism sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot. Suma’mur menyatakan bahwa produktivitas mulai menurun setelah empat jam bekerja terus menerus (apapun jenis pekerjaannya) yang disebabkan oleh menurunnya kadar gula di dalam darah. Itulah sebabnya istirahat sangat diperlukan minimal setengah jam setelah empat jam bekerja terus menerus agar pekerja memperoleh kesempatan untuk makan dan menambah energy yang diperlukan tubuh untuk bekerja.
    Teori syaraf pusat menjelaskan bahwa bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi menyebabkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel syaraf menjadi berkurang dan menyebabkan menurunnya kekuatan dan kecepatan kontraksi otot serta gerakan atas perintah menjadi lambat. Sehingga semakin lambat gerakan seseorang menunjukkan semakin lelah kondisi seseorang.
    2.3.4 Pengukuran Kelelahan
    Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Grandjean (1993) dalam Tarwaka et al (2004) mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok, yaitu:
    1. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
    2. Uji psikomotor
    3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusion test)
    4. Perasaan kelelahan secara subjektif
    5. Uji mental

    BAB III PENUTUP

    3.1 Simpulan
    Berdasarkan hasil teori dapat diambil simpulan bahwa faktor fisik, stress dan kelelahan kerja adalah masalah yang sering dialami dalam bekerja, sehingga sangat mempengaruhi produktifitas pekerja, dengan merubah dan memodifikasi semuanya, bias didapatkan pekerja yang produktif dan optimal, bebas dari kecelakaan dan penyakit kerja dan penyakit akibat kerja.
    3.2 Saran
    Hendaknya masyarakat, pemerintah, dan sector swasta sebagai pelaksana K3 menyadari pentingnya mengubah keadaan sekarang ke keadaan ideal, sehingga bias mendapatkan hasil yang baik dikemudian Hari.

    DAFTAR PUSTAKA

    Beehr, T. A. (1978). Psychologycal Stress In The Workplace. London: Rotledge.
    Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O’Driscoll, M. P. (1991). Organizational Stress: A Review and Critique of Theory, Research, and Applications. California: Sage Publications, Inc.
    Cooper, C. L., & Payne, R. (1994). Causes, Coping & Consequences of Stress at Work. USA: John Wiley & Sons, Ltd.
    Greenberg, J., & Baron, R. A. (1993). Behavior In Organizations: Understanding And Managing The Human Side Of Work. USA: Allyn & Bacon.
    Luthans, F. (1992). Organizational Behavior (6th ed.). Singapore: McGraw-Hill, Inc.
    Mitchell, T. R., & Larson, J. R. (1987). People in Organizations: An Introduction to Organizational Behavior (3rd ed.). USA: McGraw-Hill, Inc.
    Morgan, C. T., King, R. A, & Weisz, J. R. (1986). Introduction to Psychology (7th ed.). New York: McGraw-Hill Book Co.
    Quick, J. C., & Quick, J. D. (1984). Organizational Stress And Preventive Management. USA: McGraw-Hill, Inc.
    Rice, P. L. (1999). Stress and Health (3rd ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.
    Selye, H. (1956). The Stress of Life. New York : McGraw Hill.
    Selye, H. (1983). Selye’s Guide To Stress Research (vol. 3). New York: Van Nostrand Reinhold Company, Inc.
    Grandjean, Etienne. 1988. Fitting the Task to the Man 4th Edition. Taylor & Francis Publisher, London.
    Pulat, Mustafa B. 2002. The Fundamental Ergonomics. Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey.
    Tarwaka et al. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Produktivitas. UNIBA Press, Surakarta.
    Suma’mur.1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT Toko Gunung Agung, Jakarta.
    Arthur Gyton dan John E. Hall. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (alih
    Bahasa: Irawati Setiawan. Jakarta: ECG
    Budi Imansyah S. 2005. K3 Modal Utama Kesejahteraan Buruh. Available: http://www .Pikiran Rakyat.Com/cetak/index htm.
    Carolin Wijaya. 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja (alih bahasa: Joko Suyono). Jakarta: ECG-WHO
    Depkes RI. 1991. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal Di Indonesia.Jakarta: Depkes RI
    Depkes RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan dan Keputusan Direktur Jendral PPM&PLP Tentag Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja. Jakarta: Depkes RI
    Depnaker. 2004. Training Material Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Bidang Keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker
    Diana Oktaviana, Ika Tisnawati, Arif Rahman, Editor Wahyu Purwanto. 2004. Ergonomi dan Perencanaan Sistem Kerja Analisis Pengaruh Faktor Fisik Terhadap Kondisi Kerja.Proceding Seminar Ergonomi 2. Yogyakarta
    Eko Nurmianto. 2003. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya
    Emil Salim. 2002. Green Company Pedoman Pengelolaan Lingkungan, Keselamatan & Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Astra Internasional TBK Heru Setiarto. 2002. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pengemudi bus jurusan Grabag – borobudur,Skripsi. Semarang : UNDIP
    I Dewa N. 1999. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC John.S Nimpoeno, Alex papilaya, Suma’mur PK, RP.Sidabutar. 1989. Penyakit-penyakit Akibat Kerja. Jakarta: Grafindo Utama
    Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2004. Pedoman Penyusunan Skipsi Mahasiswa Program Strata 1. Semarang
    Mike Wardhani, Suci Mahanani, Widhi Eviyanti. Editor Wahyu Purwanto.2004. Evaluasi Kebisingan, Temperatur dan Pencahayaan.Proceding Seminar Nasional Ergonomi 2. Yogyakarta
    Pandji Anoraga. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: PT. Rineka Cipta
    Rizeddin Rasjid, Haryati, Siswanto. 1989. Ergonomi dan Bahaan Kimia. Surabaya: Balai Hiperkes & KK Jawa Timur
    Setyowati L. 1994. Kecelakaan Kerja Kronis, Kajian terhadap Tenaga Kerja, Penyusunan Alat Ukur serta Hubungan Alat ukur dan Produktivitas. Tesis Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta: UGM
    Soekidjo Notoatmodjo.2002. Metodologi Penelitian Kesehaatan.Jakata Rineka Cipta Singgih Santoso.2001. SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Provesional. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo
    Sritomo Wignjosoebrata.2003. Ergonomi Studi Gerak dan Waktu. Surabaya: Guna Widya
    Sugiyono. 1999. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta
    Suharsimi Arikunto.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta
    Suma’mur PK. PK. 1996. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT.Toko Gunung Agung
    Suma’mur PK. PK. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata: CV Haji Masagung
    Sutaryono. 2002. Hubungan antara tekanan panas, kebisingan dan penerangan dengan kelelahan pada tenaga kerja di PT. Aneka Adho Logam Karya Ceper klaten, Skripsi. Semarang : UNDIP
    Tarwaka, Solichul, Bakri, Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk Kesehatan Kerja Dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Pers

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar